Minggu, 14 Juni 2009

Multikecerdasan Siswa yang Disia-siakan Sekolah

Oleh Suyatno

Semua guru teramat paham kalau siswa mempunyai multikecerdasan. Bahkan, mereka mengikuti dengan seksama berbagai diskusi dan bahasan tentang multikecerdasan. Namun, penerapan di sekolah tetap saja dengan pola monokecerdasan seperti pola sekolah zaman dahulu. Lalu, perubahannya di mana?

Sekali lagi, guru-guru teramat paham bahwa manusia adalah makhluk yang paling cerdas, dan Tuhan, melengkapi manusia dengan komponen kecerdasan yang paling kompleks. Sejumlah temuan para ahli mengarah pada fakta bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan paling unggul dan akan menjadi unggul asalkan bisa menggunakan keunggulannya. Kemampuan menggunakan keunggulan ini dikatakan oleh William W Hewitt, pengarang buku The Mind Power, sebagai faktor yang membedakan antara orang jenius dan orang yang tidak jenius di bidangnya.

Sayangnya, menurut Leonardo Da Vinci, kebanyakan manusia me-nganggur-kan kecerdasan itu. Punya mata hanya untuk melihat tetapi tidak untuk memperhatikan, punya perasaan hanya untuk merasakan tetapi tidak untuk menyadari, punya telinga hanya untuk mendengar tetapi tidak untuk mendengarkan dan seterusnya. Guru dan sekolah termasuk orang yang menganggurkan kemampuannya untuk mengelola multikecerdasan siswa.

Saat ini, yang dipakai masih monokecerdasan yang digagas oleh Binnet dengan konsep IQ-nya. Kebijakan dinas pendidikan juga mengacu pada konsep lama. Meskipun, petinggi pendidikan itu teramat paham tentang multikecerdasan itu. lalu, kapan dimulai penerapannya? Era setelah Binnet ada Thorndike sebagai salah satu ahli yang membagi kecerdasan manusia menjadi tiga, yaitu kecerdasan Abstrak -- Kemampuan memahami simbol matematis atau bahasa, Kecerdasan Konkret -- kemampuan memahami objek nyata dan Kecerdasan Sosial – kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan manusia yang dikatakan menjadi akar istilah Kecerdasan Emosional (Stephen Jay Could, On Intelligence, Monash University:1994)

Pakar lain seperti Charles Handy juga punya daftar kecerdasan yang lebih banyak, yaitu: Kecerdasan Logika (menalar dan menghitung), Kecerdasan Praktik (kemampuan mempraktikkan ide), Kecerdasan Verbal (bahasa komunikasi), Kecerdasan Musik, Kecerdasan Intrapersonal (berhubungan ke dalam diri), Kecerdasan Interpersonal (berhubungan ke luar diri dengan orang lain) dan Kecerdasan Spasial (Inside Organizaion: 1990)

Bahkan pakar Psikologi semacam Howard Gardner & Associates konon memiliki daftar 25 nama kecerdasan manusia termasuk misalnya saja Kecerdasan Visual/Spasial, Kecerdasan Natural (kemampuan untuk menyelaraksan diri dengan alam), atau Kecerdasan Linguistik (kemampuan membaca, menulis, berkata-kata), Kecerdasan Logika (menalar atau menghitung), Kecerdasan Kinestik/Fisik (kemampuan mengolah fisik seperti penari, atlet, dll), Kecerdasan sosial yang dibagi menjadi Intrapersonal dan Interpersonal (Dr. Steve Hallam, Creative and leadership, Colloquium in Business, Fall: 2002).

Kecerdasan Intelektual, Emosional & Spiritual
Sudah bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan promosi personel militer) dan dunia kerja, menggunakan IQ sebagai standar mengukur kecerdasan seseorang. Tetapi namanya juga temuan manusia, istilah teknis yang berasal dari hasil kerja Alfred Binet ini (1857 – 1911) lama kelamaan mendapat sorotan dari para ahli dan mereka mencatat sedikitnya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang menuntut untuk diperbaruhi, yaitu:
a. Pemahaman absolut terhadap skor IQ
Steve Hallam berpandangan, pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan tidak bisa diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya, 58% merupakan hasil dari proses belajar.
b. Cakupan kecerdasan manusia : kecerdasan nalar, matematika dan logika
Steve Hallam sekali lagi mengatakan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju.

Seputar Kecerdasan Emosional (EQ)
Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama tehnis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat

Seputar Kecerdasan Spiritual
Danah Zohar, penggagas istilah tehnis SQ (Kecerdasan Spiritual) dikatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’ ( Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence: 2001).

Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi ter-kavling-kavling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber – SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.

Penerapan IQ-EQ-SQ Dalam Kehidupan
IQ, EQ, dan SQ bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita buat, berasal dari proses :
1. merumuskan keputusan,
2. menjalankan keputusan atau eksekusi,
3. menyikapi hasil pelaksanaan keputusan.
Rumusan keputusan itu seyogyanya didasarkan pada fakta yang kita temukan di lapangan realita (apa yang terjadi) – bukan berdasarkan pada kebiasaan atau preferensi pribadi suka – tidak suka. Kita bisa menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berpikir untuk menemukan fakta obyektif, akurat, dan untuk memprediksi resiko, melihat konsekuensi dari setiap pilihan keputusan yang ada.

Rencana keputusan yang hendak kita ambil – hasil dari penyaringan logika, juga tidak bisa begitu saja diterapkan, semata-mata demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimana pun, kita hidup bersama dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain. Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ, yaitu kemampuan memahami (empati) kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam menimbang dan memutuskan. Banyak fakta dan dinamika dalam hidup ini, yang harus dipertimbangkan, sehingga kita tidak bisa menggunakan rumusan logika – matematis untung rugi.

Kita pun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor human touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita tawarkan pada mereka). Salah satu contoh kongkrit, di Indonesia, budaya “kekeluargaan” sangat kental mendominasi dan mempengaruhi perjanjian bisnis, atau bahkan penyelesaian konflik.

Kenyataannya, hal di atas hanya sebatas dibaca guru namun tidak pernah menjadi bagian dari sistem pendidikan. Bukannya guru tidak mau menerapkan tetapi aturan pendidikan tidak juga beranjak dari pola monokecerdasan. Meskipun, perlu diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. Seperti kata Thomas Jefferson atau Anthony Robbins, meskipun keputusan yang dibuat harus berdasarkan pengetahuan dan keyakinan sekuat batu karang, tetapi dalam pelaksanaannya, perlu dijalankan se-fleksibel orang berenang.

Sabtu, 13 Juni 2009

Agar Siswa Kreatif, Beginilah Tips Praktisnya

Oleh Suyatno

Semua guru menhendaki agar siswanya kreatif namun tidak semua guru mau menerapkan secara langsung di kelas. Kadang, guru berkomentar kalau siswanya tidak kreatif. Padahal, siswa tersebut dikondisikan untuk kreatif saja tidak. Inginnya, siswa kreatif dengan sendirinya, seperti hujan datang dari langit. Tentu, siswa tidak akan pernah dapat kreatif. Kreativitas tidak muncul begitu saja.

Bila guru menginginkan siswa menjadi kreatif, peran aktif guru sangat dibutuhkan. Melalui berbagai cara sederhana, siswa pun dapat tumbuh menjadi orang yang kreatif sesuai harapan. Ketahuilah bahwa Kreativitas siswa dimulai sejak usia 2 tahun, karena pada usia tersebut kemampuan kognitif mereka sudah lebih berkembang dan alur berpikirnya sudah mulai jelas, sehingga berbagai kegiatan kreatif sudah mulai bisa dilakukan bersama mereka, apalagi di kelas.

Kreativitas itu sendiri berbentuk kreativitas dalam berbagai bidang, mulai dari bidang seni hingga kreatifitas dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu dapat dirangsang melalui berbagai kegiatan bermain. Dari situ, bukan tidak mungkin bakat siswa terlihat sehingga guru bisa membantunya mengembangkan bakat tersebut. Untuk itu, berikut ini Tips yang perlu diketahui guru dalam rangka mendidik siswa menjadi kreatif:

1. Ciptakan Suasana Yang Bebas dan Menyenangkan. Kreativitas akan muncul jika siswa melakukan kegiatannya tanpa ada tekanan dari guru, misalnya banyaknya aturan-aturan yang harus diikut, atau guru yang terlalu banyak berkomentar. Dengan demikian siswa akan bebas untuk mencoba melakukan berbagai hal yang ia inginkan

2. Biasakan Memberi Pertanyaan Yang Membutuhkan Lebih Dari Satu Jawaban. Misalnya, saat mengajarkan siswa berhitung lebih baik pertanyaan: “Enam itu sama dengan angka berapa ditambah angka berapa?” daripada “Tiga tambah tiga sama dengan berapa?”.

3. Tanggapi Pertanyaan Siswa Dengan Serius. Tanggapilah semua pertanyaan yang diajukan siswa, tentunya dengan bahasa yang mudah ia pahami. Bila perlu carilah jawabannya dari berbagai sumber.

4. Berikan Penekanan Pada Proses Bukan Hasil. Hasil tidak terlalu penting. Jadi jangan mengharuskan siswa membuat sesuatu yang luar biasa atau bagus. Gunakan standar untuk siswa seusianya, bukan standar guru.

5. Jangan Terlalu Banyak Membantu. Ini adalah karya siswa, bukan guru. Jadi biarkan ia melakukannya sendiri dengan hasil yang tidak sama dengan persepsi guru.

Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Kedua di Vietnam

Garduguru: Tampaknya sudah waktunya bahasa Indonesia menjadi pilihan berbahasa di dunia. Buktinya, vietnam telah menentukan bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua yangs ejajar dengan bahsa Inggris, Perancis, dan Mandarin di negeri itu. Di beberapa negara, malah banyak yang membuka jurusan bahasa Indonesia di perguruan tinggi setempat. Kompas.com (12 Juni 2009) melaporkan bahwa pemerintah Daerah Ho Chi Minh City, Vietnam, mengumumkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua secara resmi pada bulan Desember 2007, kata seorang diplomat Indonesia.

"Bahasa Indonesia sejajar dengan Bahasa Inggris, Prancis dan Jepang sebagai bahasa kedua yang diprioritaskan," kata Konsul Jenderal RI di Ho Chi Minh City untuk periode 2007-2008, Irdamis Ahmad di Jakarta pada Jumat.

Guna mengembangkan dan memperlancar studi Bahasa Indonesia, pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia di kota itu membantu berbagai sarana yang diperlukan beberapa universitas, kata Irdamis.

Sarana yang dibantu antara lain peralatan komputer, alat peraga, bantuan dosen dan bantuan keuangan bagi setiap kegiatan yang berkaitan dengan upaya promosi Bahasa Indonesia di wilayah kerja universitas masing-masing.

Perguruan tinggi itu juga mengadakan lomba pidato dalam Bahasa Indonesia, lomba esei tentang Indonesia dan pameran kebudayaan. Universitas Hong Bang, Universitas Nasional HCMC dan Universitas Sosial dan Humaniora membuka studi Bahasa Indonesia.

"Jumlah mahasiswa yang terdaftar sampai Nopember 2008 sebanyak 63 orang dan menurut universitas-universitas itu, minat untuk mempelajari Bahasa Indonesia cenderung meningkat," kata Irdamis.

Ia berpendapat sebagian pemuda Vietnam melihat adanya keperluan untuk mempelajari Bahasa Indonesia, mengingat kemungkinan meningkatnya hubungan bilateral kedua negara yang berpenduduk terbesar di ASEAN di masa depan.

Rabu, 03 Juni 2009

Dampak Telivisi bagi Pendidikan Anak

Oleh Suyatno

Jangan tv yang diharamkan bahkan dibuang pesawatnya melainkan gunakan strategi untuk menyiasati televisi. Ubahlah dampak negatif tv menjadi sebuah energi yang positif dan melejitkan kepandaian seseorang karena kehidupan modern tidak dapat lepas dari perkembangan teknologi, terutama televisi.

Semua benda ciptaan manusia bahkan alam selalu berdampak baik positif maupun negatif. Kemudian, singkirkan dampak negatif dan raihlah dampak positif. Berbagai cara untuk meraih dampak positif tersebut. Dampak kesehatan, kebiasaan menonton TV dalam waktu yang lama berdampak buruk pada kesehatan mata, terlebih pada anak-anak. Televisi memancarkan sinar biru yang berbahaya bagi anak. Sinar biru menyebabkan degenerasi (kerusakan) retina. Ada dua hal yang mempengaruhi jumlah sinar biru yang diterima anak, yaitu lamanya menonton TV dalam satu hari dan jarak saat menonton TV.

Hasil penelitian mahasiswa Kedokteran UI yang terdiri atas Pratiwi Rapih Astuti, Wahyu Budi Santosa, Allan Taufiq, dan Dwi Notosusanto, mengungkapkan bahwa semakin lama waktu menonton TV, skor fungsi retina semakin rendah. Mata anak sangat rentan akibat sinar biru, karena lensa mata mereka relatif jernih sehingga tidak dapat meredam sinar biru dengan maksimal. Penelitian itu menyimpulkan bahwa lama waktu menonton TV sehari yang disarankan adalah 60 menit untuk anak berumur 6-9 tahun, dan 90 menit untuk anak berumur 9-13 tahun. Adapun soal jarak layar televisi dan mata si anak, penelitian menganjurkan jarak menonton TV lebih dari empat meter. Hal itu baik untuk mencegak kerusakan retina mata.

Dampak sosial yang muncul adalah anak yang sering menonton tv sendiri tanpa kawan akan memupuk jiwa egoistisnya dan melemahkan jiwa empatinya. Untuk itu, anak harus didampingi oleh kawannya atau orang tua sambil mengarahkan berdasarkan isi siaran tv.

Oleh karena anak berkembang dari tahap imitasi, kekuatan menirunya akan lebih tinggi tanpa dipikir lebih dahulu. Cara menyiasatinya adalah dengan memberikan penjelasan makna yang mendidik kepada anak.

Guru di Mata Mbok Siti (53)

Aku tidak henti-hentinya mengamati induk ayam bersama sepuluh anak-anaknya di pelataram rumah MBok Siti. Ketika itu, Mbok Siti ke belakang setelah lama berbicara tentang cinta seorang guru. Kembali ke ayam-ayam yang riuh rendah bersuara sambil mengerubungi kaki induknya. Sesekali induk ayam bergeser, anak-anak ayam itu juga bergeser. Aku coba untuk menganggu dengan menjulurkan tangan ke arah kerumunan ayam. Tiba-tiba, induk ayam berlari ke arahku sambil ingin mematuk sekenanya. Aku sedikit mundur dengan kaget.

"Itulah induk ayam, anakku. Induk itu sangat bertanggung jawab atas keselamatan anak-anaknya", kata Mbok Siti sambil membawa dua cangkir kopi seperti yang kuduga. 'Lihatlah dengan seksama ayam itu", ajak Mbok Siti. Induk ayam tidak pernah menyuapi langsung ke anak-anaknya. Induk itu hanya memberikan jalan dengan menggarukkan kaki agar makanan dapat muncul dan diketahui oleh anaknya. Lalu, anak ayam makan dengan paruhnya sendiri. Anak-anak ayam itu seperti berkeliaran sebebas-bebasnya dan berani menjauh dari induknya untuk mencari makanan sendiri seperti yang diajarkan induknya. Namun, jika induknya bergeser ke tempat lain, anak ayam yang kelihatan liar itu akan mengikutinya. "Itulah kekuatan hubungan dan tanggung jawab induk ayam terhadap anak-anaknya", kata Mbok sambil melirikku.

Guru hebat tentunya adalah guru seperti induk ayam itu. "Guru harus menunjukkan jalan kepada muridnya untuk menemukan belajarnya", ucap Mbok. Bebaskan murid berkreasi sesuai dengan keinginannya ketika mendalami ilmunya. Namun, smurid itu juga harus berada pada pantauan guru dengan tanggung jawab.

Wajah Buruk Ujian Nasional

Niat awalnya untuk mengukur kompetensi siswa di tingkat nasional agar diketahui perkembangan dan kemajuan pendidikan di INdonesia, hasilnya adalah pembentukan jiwa curang di semua kalangan pendidikan yang berurusan dengan sekolah. Jiwa curang saat ini mulai terbentuk menjadi salah satu aset bangsa setelah dipupuk dalam proses yang bernama ujian nasional. Betapa tidak! Semua kepala dinas atau kepala daerah tentu tidak ingin daerahnya lebih rendah kualitas pendidikannya dibandingkan dengan daerah lain. Itu demi gengsi kepemimpinan. Jalan pintas pun dijalani. Hasilnya upaya manipulasi tingkat tinggi atas nama baju kecurangan.

Jawa POs (Selasa, 2 Juni 2009), harian nasional yang terbit dari Surabaya, melaporkan bahwa dunia pendidikan Indonesia benar-benar ternoda. Kasus kecurangan pelaksanaan ujian nasional (unas) tahun ajaran 2008/2009 tidak hanya dilakukan 19 SMA, melainkan 33 SMA. Selain itu, kecurangan tersebut terjadi di level pendidikan menengah tingkat pertama (SMP). Itulah fakta terakhir yang dibeberkan Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) kemarin.

Ketua BSNP Prof Eddy Mungin Wibowo mengungkapkan, kecurangan itu mayoritas terjadi di daerah. ''Total ada 33 SMA. Kami sudah mendatanya dan menyiapkan ujian ulang untuk seluruh SMA itu,'' terangnya kemarin. Kasus pelanggaran berat tak hanya terjadi di SMAN 2 Ngawi, tapi juga terjadi di Sungai Liat, Bangka Belitung.

Kasusnya adalah joki oleh guru dengan menyebarkan kunci jawaban unas melalui pesan SMS. Pesan itu kemudian disebar di SMA Bakti dan SMA Setia Budi. Menurut Mungin, kasusnya saat ini ditangani pihak kepolisian. Dua sekolah itu juga harus mengulang ujian.

Siswa SMA Bakti jurusan IPA harus mengulang mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan kimia. Sedangkan siswa jurusan IPS harus mengulang semua mata pelajaran yang diujikan dalam unas. Yaitu, matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, ekonomi, geografi, dan sosiologi. Sementara siswa SMA Setia Budi harus mengulang semua mata pelajaran, baik untuk jurusan IPA maupun IPS.

Yang memprihatinkan lagi adalah bentuk kecurangan di Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. Seluruh SMP dan MTs di kabupaten itu harus mengulang ujian lantaran mendapat kunci jawaban unas. (Selengkapnya lihat grafis). Kronologinya, sehari sebelum pelaksanaan unas atau pada (27/6) lalu, salah seorang guru SMP di kabupaten itu mencuri soft copy soal unas di percetakan. Dari soal itu dibuat kunci jawaban. Lantas, kunci jawaban itu disebarkan ke seluruh sekolah di Kendari. Namun, pihak kepolisian setempat telah berhasil menangkap guru tersebut.

Kemudian, pengawas, Irjen, dan BSNP turun ke lapangan untuk membuktikan apakah kunci jawaban itu sesuai dengan kunci jawaban asli. Hasilnya, pola jawaban semua siswa sama, tapi tidak sesuai dengan kunci jawaban asli. ''Artinya, jawaban siswa salah semua. Karena ini bentuk kecurangan dan melanggar POS (prosedur operasional standar, Red), akhirnya kami putuskan mengulang ujian itu,'' terangnya. Seluruh siswa SMP dan MTs Kabupaten Kendari harus mengulang semua mata pelajaran. Pelanggaran lain terjadi di SMPN 1 Lebong Bengkulu, MTs Kabupaten Kolaka, dan SMPN 4 Sampara, Kabupaten Konawa (Sulawesi Tenggara).

Mungin menjelaskan, sejatinya keputusan menggelar ujian ulang tidak diambil begitu saja. BSNP beberapa kali mengundang para kepala dinas kota/kabupaten setempat untuk membahas kasus tersebut. Peristiwa memalukan itu dibahas kali pertama pada 15 Mei lalu. Akhirnya keputusan final mengulang ujian diambil pada Sabtu (30/5) lalu. ''Pertimbangan kami menyangkut sekian banyak siswa. Kalau ujian ulang tidak dilakukan, ini sangat merugikan mereka,'' tutur pejabat asli Semarang itu.

Mungin mengatakan, bobot soal ujian ulang akan disusun setara unas yang berlangsung pada April lalu. Dengan demikian, kata Mungin, diharapkan kualitas unas ulangan tidak diragukan. Saat ini pihaknya telah menyiapkan ujian ulang itu. ''Kami berharap kecurangan tidak terjadi lagi,'' ucapnya.

Sementara itu, Direktur Centre for the Betterment of Education (CBE) Satria Dharma mengatakan, peristiwa itu sebagai tragedi dunia pendidikan. ''Jika siswa lebih memercayai kunci jawaban palsu yang beredar, artinya tidak ada kepercayaan terhadap proses pembelajaran yang berlangsung selama tiga tahun. Ini bencana bagi dunia pendidikan,'' ungkapnya.

Satria menilai, yang paling bertanggung jawab terhadap kasus itu adalah para kepala daerah, kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah. ''Karena itu, kasus ini harus diusut tuntas hingga ke pengadilan,'' jelas alumnus Unesa itu.

Karena merupakan sebuah kecurangan, menurut Satria, tidak seharusnya BSNP menggelar ujian ulang. ''Dalam persoalan ini, BSNP tidak boleh mengambil kebijakan mengulang unas. Itu kesalahan siswa sendiri yang lebih memercayai kunci jawaban palsu daripada apa yang telah mereka peroleh dari sekolah selama ini,'' tegasnya.

Kasus itu langsung ditanggapi Komisi X DPR RI. Kemarin komisi yang mengatur masalah pendidikan, seni, dan budaya itu mengadakan rapat intern tertutup. Wakil Ketua Komisi X Heri Akhmadi mengatakan, rapat tersebut menghasilkan beberapa keputusan. Yakni, membentuk panitia kerja (panja) untuk mengevaluasi menyeluruh unas.

Bahkan, malam ini (2/6) sekitar pukul 19.00 komisi akan memanggil Mendiknas Bambang Sudibyo dalam rapat kerja. ''Mendiknas harus menyikapi ini dengan sungguh-sungguh. Harus ada evaluasi total dan menyeluruh untuk unas,'' tegas anggota dewan dari dapil VII itu.

Heri mengatakan, komisi menyatakan sangat prihatin atas terjadinya kasus tersebut. Dia menengarai, kasus itu melibatkan orang dalam. ''Mereka (Depdiknas daerah, Red) bilang kalau itu terjadi karena siswa mendapat bocoran. Jelas tidak mungkin. Siswa tidak akan percaya kalau itu tidak dari orang dalam dan orang yang mereka percaya,'' katanya.

Karena itu, Komisi X mendesak Mendiknas segera mengungkapkan masalah yang terjadi di SMA-SMA tersebut dan menindak semua pihak yang terlibat. ''Kalau ada indikasi unsur pidana, kasus ini harus dilaporkan ke polisi,'' katanya.

Heri sendiri sempat melakukan sidak di sejumlah sekolah di daerah pemilihannya. Dari penelusuran itu, dia menilai modus kecurangan dilakukan dengan sangat sistematis dan melibatkan jaringan orang dalam. Mulai guru hingga panita ujian dari dinas pendidikan setempat. Caranya, salah seorang guru atau panitia yang ikut mendistribusi naskah soal mengambil salah satu soal. Dia lantas membuat kunci jawabannya.

''Nah, setelah itu baru disebarkan ke siswa. Penyebarannya bisa dengan cara SMS antarsiswa atau kertas-kertas dari guru yang mengawasi,'' katanya. Modus lain, kata Heri, bisa saja terjadi. Namun, untuk melakukan penelusuran yang detail, dia berharap upaya investigasi dari pihak kepolisian.

Kunci jawaban itu, kata Heri, barangkali benar. Namun, karena beberapa sekolah memiliki jenis soal berbeda, kunci jawaban itu tak cocok saat digunakan di SMA yang semua siswanya tak lulus itu. ''Bisa jadi di sekolah lain malah sukses dan semuanya lulus,'' katanya.

Heri yakin modus tersebut sudah lumrah digunakan sekolah-sekolah. Itu pula yang menjadi rahasia kelulusan mereka selama ini. ''Nah, kebetulan mereka yang gagal lulus itu sedang apes. Akhirnya jadi ketahuan. Coba kalau mereka lulus semua, pasti cara-cara tidak jujur itu tidak pernah ketahuan,'' kata anggota FPDIP itu.

Komisi X, kata Heri, juga menolak keputusan Depdiknas menurunkan Inspektorat Jenderal (Itjen) untuk menginvestigasi kasus tersebut. Sebab, Itjen tak pernah benar-benar menyelesaikan persoalan. Dari beberapa kasus pendidikan yang terjadi, Itjen malah memperkeruh suasana. ''Lihat saja kasus Sumatera dulu. Guru-guru diduga mendiktekan jawaban kepada siswa. Masak Itjen malah menyalahkan mereka yang melaporkan kejadian itu,'' katanya.

Komisi juga menolak kebijakan BSNP melakukan ujian ulang. Hal itu dinilai tidak adil bagi siswa lain yang dinyatakan tidak lulus. ''Bahkan, meski dianggap korban oknum guru pun, mereka tetap tak bisa melakukan ujian ulang. Para siswa kan ikut aktif melakukan kecurangan itu. Jangan sampai karena jumlah siswa yang tak lulus mencapai ribuan, kita jadi melanggar peraturan. Ujian ulang tak pernah ada dalam aturan,'' tegasnya.

Skandal itu juga menyeret Depdiknas ke sejumlah kasus lain yang selama ini tak banyak dibicarakan. Pembentukan panja unas juga untuk mengevaluasi semua program Depdiknas yang bermasalah.

Kasus itu adalah program jaringan pendidikan nasional (jardiknas), data dan statistik pendidikan, dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). ''Program jardiknas bahkan tidak jelas. Anggarannya besar, tapi tidak ada hasilnya. Malah data dan statistik pendidikan tidak jelas juntrungnya,'' tegas Heri.

Guru di Mata Mbok Siti (52)

"Ke mana saja selama ini, anakku?", tanya Mbok Siti. "Aku pikir, kamu sudah lupa dengan kehidupan desa yang jauh dari kesempurnaan ini", tambahnya. Aku tersipu malu. Cepat-cepat aku tutupi dengan alasan. "Maaf Mbok, rasa hati ingin ke sini terus tapi banyak tugas yang harus diselesaikan", jawabku sekenanya. "He.He.He. Gak apa-apa kok", sahut Mbok yang memakai baju hitamnya dengan tertawa. "Aku sangat rindu untuk bertemu. Entah mengapa rindu itu terjadi. Banyak hal yang akan aku omongkan", ungkapnya.
"Anakku, guru harus mempunyai kerinduan kepada murid-muridnya meski rindu itu harus terjadi", kata Mbok dengan pelan. Apalah arti sebuah hubungan antara guru dengan murid jika tidak dibalut dengan kerinduan yang mendalam. Yang dikatakan guru itu ketika dia bertemu dengan muridnya. "Saat guru bertemu dengan muridnya, saat itulah kata guru benar-benar menemukan maknanya, anakku", jelasnya. Aku mengamini saja. "Untuk itu, jangan lepaskan ikatan hubungan antara guru dengan murid sekecil apapun", tambah Mbok yang beruban itu. Dari hubungan itulah terjalin pemindahan isi kesempurnaan dari guru ke murid.